Indonesia tak seindah kacamata Dahlan Iskan
Saya termasuk
Dahlanisme, jika untuk menyebutkan mereka yang “mengikuti” prinsip hidup
beliau. Saya kerap membaca tulisannya yang lugas dan mengena tentang memberi
yang terbaik untuk bangsa dan negara. Sehingga saya kemudian percaya bahwa
setiap orang mampu untuk berkarya dengan caranya sendiri demi kemaslahatan
bangsa, dengan kaki dan tangan sendiri tanpa berharap pada bangsa yang memang
terlalu berat menampung ide-ide perubahan.
Namun, 27
Oktober 2016 lalu di sebuah Kamis sore, Kejaksaan Tinggi Jawa Timur menahannya
atas dugaan “niat tak baik”, atas sebuah tindakan masa lalu yang dia pun tak
beroleh keuntungan sepeser pun. Yang kerugian
nya pun masih dalam proses dihitung. Beliau katakan,
"Biarlah
sekali-kali terjadi seorang yang mengabdi dengan setulus hati, dengan menjadi
direktur utama perusahaan daerah yang dulu seperti itu jeleknya, yang tanpa
digaji 10 tahun, tanpa menerima fasilitas apa pun, dan harus menjadi tersangka
yang bukan karena makan uang. Bukan karena menerima sogokan, bukan karena
menerima aliran dana, melainkan karena harus tanda tangan dokumen yang
disiapkan anak buah."
Hati kecil saya berbunyi tak adil hal ini terjadi, sama
seperti yang terjadi pada Munir, Warsito Taruno dan tokoh-tokoh baik lainnya.
Miris dan menyayat hati.
Saya termasuk Dahlanisme yang percaya pada kata-kata
memberi yang terbaik untuk bangsa dan negara. Namun, pegangan hidup itu kini
dihantam keras oleh perlakuan negara kepada asset bangsa itu. Dahlan Iskan
bukanlah sebuah pribadi sendiri, ia adalah simbolisasi tokoh publik yang langka
ditengah tokoh-tokoh yang koruptor, makelar, dan kolutif.
Dahlan Iskan adalah mereka yang percaya pada sebuah optimisme.
Lalu, optimisme itu dihantam dan diremukkan oleh sebuah
tindakan tak beradat. Hati kecil terasa sakit dan terenyuh. Optimisme
ditabrakan pada sebuah kesewenangan centang perenang. Bukan oleh kelompok atau golongan nir partai
politik, namun oleh negara ini sendiri. Sebuah bangsa yang di cintai dan dibela
dengan sepenuh hati.
Mungkin saya terlalu utopis, Indonesia tak seindah
kacamata Dahlan Iskan. Kolom-kolom beliau yang bercerita tentang Putra petir, Manufacturing Hope, atau mimpi tentang
Indonesia yang bebas dari minyak bumi atau sapi impor itu mungkin dongeng
pengantar tidur. Aah saya memang harus cuci muka segera, tak kuasa rasanya
berharap pada kejujuran dan niat baik agar lenggang di bumi nusantara.
Jangankan berharap, bermimpi pun terasa tak layak.