Inilah 3 Rahasia Kampanye Facebook dari "Teman Ahok"
Waarbiasaaah…saya melewati update konten bulan kemarin, Mei
lalu. Kini pun kalender sudah menginjak tanggal 28, yang artinya penghujung
Juni. Tak ada alas an yang rasional untuk keterlambatan ini selain satu kata “MALAS”.
Yah, kemalasan menghampiri dengan varian rasionalisasi yang tak jelas itu.
Misalnya, akses internet yang ada di kantor, kerjaan di
kantor yang Na’uzubillah itu, bisa juga gara-gara ikut program pelatihan April
hingga pertengahan Mei yang memakan waktu dan fikiran, atau tak ada ilham yang
datang untuk menjadi bahan perbincangan. Bahkan rasionalisasi tak masuk akalnya
adalah, gara-gara kehausan dan kecapean akibat berpuasa. Saya bisa dibenci
Tuhan gara-gara ini. Mohon ampun sebanyak-banyaknya.
Prihal kemalasan ini yang menjadi momok bagi para pecinta
blogging atau penggiat dunia Adsense itu. Kemalasan update content bisa menjadi
tanda bahwa blog dikelola secara tidak professional, atau “caca marica” kata
teman saya. Pengunjung loyal bisa enggan berkunjung dan tak menutup kemungkinan
pamit selamanya dari laman blog kita.
Ketika ini terjadi, traffic kemudian diharapkan dari
pengunjung yang hasil googling. Ini pun tak bagus untuk perkembangan blog sebab
mesti bersaing dengan ribuan blog lainnya. Belum lagi efektifitas kata kunci
agar familiar dengan search engine mainstream macam Google itu.
Anyway, lets gone be by gone. Bagi saya, yang sedari awal
dimotivasi sebagai media personal nirlaba ini tak jadi beban psikologis dengan issue
updating konten yang jarang. Ia (blog) tetaplah menjadi medium saya mengurai
soal pribadi atau analisa singkat isu local. Tak muluk-muluk mengenai seberapa
besar penghasilan adsense didapat.
Namun, saya tak menjustifikasi bahwa blog tak butuh
pengunjung, ini salah besar. Saya perlu pengunjung banyak. Sebab traffic tinggi
indikasi konten dibaca banyak. Ia syukur-syukur bisa dishare dan menambah
wawasan orang lain. Apalagi jika menyangkut isu yang sensitif dan penting bagi publik.
Nah jika berbicara isu penting, saya jadi teringat pada
kegairahan para calon peserta pilkada Gubernur dan Wakil Gubernur provinsi
Bangka Belitung untuk ramai-ramai bikin akun di Facebook. Kini makin ramai para
tokoh publik mendekatkan diri dengan netizen lewat medium media social dimaksud.
Macam-macam namanya, dengan kata kunci “Sahabat si A,” “Kawan si B,” atau “Relawan
si C.”
Harus diakui media sosial menjadi salah satu elemen
kemenangan seorang calon politik masa kini. Ada banyak contoh dan referensi
untuk itu. Tengok saja kampanye Obama, kemudian Jokowi pada Pilpres lalu.
Kemudian yang lagi ngehits sekarang adalah Ahok lewat “Teman Ahok ” itu.
Relawan Teman Ahok itu pun menjelma menjadi kekuatan politik gaya baru diantara
dominasi partai politik.
Meskipun belum jelas diketahui hasil akhir, namun bargaining
politik relawan media sosial sangat tinggi. Teman Ahok membuktikan hal itu. Dikala,
publik merasa muak dan bosan dengan ulah oknum Partai Politik yang korupsi.
Satu hal yang harus dipahami adalah, kampanye lewat media
sosial tak cukup menulis konten dan sharing. Upload foto sang calon berikut
kata-kata mutiara itu. Tak cukup begitu, ia (konten) mesti dipahami sebagai
peluru yang terbang sekali dan cepat. Konten mesti dibuat dengan model semacam
itu. Tepat, Cepat dan Berhasil guna. Konsep ini lalu dijabarkan lewat strategi
copy writing, editing foto, pemilihan timing, jeda informasi, dan sebagainya.
Belum lagi, bicara soal audiens, ada ratusan dan ribuan
audiens dengan sekat demografis, budaya dan pekerjaan, serta agama. Konten yang
baik dibuat sesuai dengan keragaman ini. Untuk itulah, diperlukan sebuah teknik
penelitian tersendiri. Hasil akhirnya, akun sang calon apakah akan dibuat
sebagai profile anggota biasa, akun group atau fan page. Pertimbangan yang
teruji dan terukur sangat disarankan. Dengan begini, akun media sosial digarap
secara professional bukan asal buat.
Paling tidak, media sosial telah menjelma menjadi medium
untuk ambil suara. Hal ini mula disadari oleh mereka yang akan bersaing
nantinya. Yang perlu diingat lagi adalah, para calon kepala daerah yang akan
bertempur nanti rata-rata adalah generasi Baby Boomers yang familiar dengan televise
dan Koran. Diperlukan keterbukaan dan ketrampilan tersendiri untuk mengemas
pesan yang “benar”.
Medium boleh benar,
namun jangan sampai salah kemasan. Begitu ! (Mario Teguh-mode on)