Yogya Bike Rendezvous; antara Parade Hedonisme dan Rasa Kebangsaan
Meskipun Yogya Bike Rendezvous (YBR)
jauh ada di Yogyakarta, namun perkara penghadangan Elanto Wijoyono pada
serombongan bikers Motor Gede (Moge) itu
menarik respon orang kebanyakan secara luas. Jika diperhatikan secara online, komentar
dan kritikan pedas-terutama di media sosial-terhadap acara tahunan YBR itu
mengemuka seiring serangan balik dan konferensi pers oleh panitia dilakukan
untuk meng”clearkan” peristiwa sesungguhnya.
Saya fikir bagi masyarakat awam bermodal
ekonomi pas-pas-an, apa yang dilakukan Elanto W sangat pas dengan suasana
bathin yang mereka rasakan saat ini. Hidup ditengah korupsi yang seolah tak
habis-habisnya, dan si kaya makin kaya sedangkan si miskin makin trengginas
ditimpa kesusahan tiada hari. Saya melihat ada nuansa kecemburuan sosial dan
rasa kesal yang bukan sehari dua, ia terkesan menahun dan kronis.
Yang pertama, Elanto W mengajarkan kepada
kita bahwa warga biasa saja berhak atas fasilitas publik, juga berhak protes
apabila ada pelanggaran terhadap hak-hak itu. Meskipun dalam kasus ini,
penerobosan rombongan Moge bisa jadi benar sebab pasal 134 point g UU 22 tahun2009 tentang Lalu lintas itu menyatakan mereka termasuk konvoi kendaraan yang bisa
dianggap prioritas utama pengguna jalan. Jadi sah saja ketika lampu merah, gas
tetap ditarik kencang.
Pertanyaannya adalah, bagaimana dengan hak
pengguna ibu penjemput anaknya pulang sekolah, si bapak yang bergegas ke rumah
sakit menjenguk ibunya yang sedang sakit keras, karyawan kantor yang dikejar
deadline, pegawai PNS yang juga ditunggu kehadirannya, atau bus sekolah, yang
semuanya punya hak. Semuanya juga merasa prioritas. Ketika Elanto protes, ia
hendak mengatakan bahwa lampu merah seyogyanya dipandang sebagai pemberi hak
secara berimbang.
Berikutnya, saya merasa ada persoalan yang
mendasar dari kejadian itu. Bahwa, betapa konvoi sepeda motor berharga ratusan
juta itu seperti parade kekayaan. Ketika ratusan bikers dari seluruh daerah berkumpul di Yogyakarta pada minggu itu
seperti berkumpulnya golongan berpunya yang lebih berhak atas fasilitas publik
dibandingkan pemilik sepeda motor berharga 10 jutaan atau angkutan kota.
Analoginya, ketika kami kaya maka kami berhak atas fasilitas umum daripada anda
yang miskin. Ini mirip-mirip, seperti ungkapan “si miskin tak boleh sakit” itu.
Kemudian, jika ditarik lebih jauh lagi, ini
semacam parade hedonisme, mirip sang raja dan bangsawan yang mesti
dieluk-elukan sepanjang jalan oleh rakyat jelata. Betapa yang berduit bisa
berlagak di sepanjang jalan dengan senyum lebar. Namun, disisi yang lain,
rakyat jelata itu tersenyum kecut. Ia merana di dalam hati melihat sang
bangsawan yang bisa jadi hilang rasa kebangsaannya.
Itulah mengapa aksi Elanto seolah penegas
bahwa masyarakat bisa jadi sudah tak tahan lagi pada parade tahunan itu. Masyarakat
sekarang bukan lagi rakyat jelata yang tertunduk tak berdaya. Kini, teriakan
masyarakat bisa didengar luas seantero jagad dan dukungan massa bisa didapat.
Meskipun, ia bisa jadi dukungan maya. Harus disadari bahwa sosial media (sosmed)
dewasa ini tak semata situs berkawan dan bersalam ria, namun ia menjadi penarik
simpati massa. Bukankah, Jokowi meraih popularitasnya juga tak lepas dari peran
sosmed itu.
Demikianlah, suara Elanto gampang saja
didengar oleh siapa pun dia dari belahan pulau manapun di Indonesia. Janganlah
heran, ketika ramai orang bersimpati pada Elanto. Bisa jadi, suara Elanto
adalah suara rakyat Indonesia saat ini. Suara rakyat yang jenuh dengan parade
hedonisme di sebuah bangsa dengan himpitan ekonomi saat ini.
Terlepas dari niatan hajatan YBR untuk
meningkatkan rasa kesadaran dan nasionalisme dengan berkumpul bersama. Ditambah
dengan efek pemasukan pendapatan dari bikers
yang menginap, makan, beli aksesoris dan sebagainya. Kemudian, permintaan maaf
dari panitia dikemudian hari selepas insiden untuk menetralisir masalah
itu. Namun, kita tetap tak bisa menutup
mata, bahwa insiden penghadangan dan ramainya orang berbincang di sosmed
sebagai bukti bahwa ada “masalah” pada perkara semacam ini.
Jikapun, golongan pro bilang bahwa apa
yang dilakukan kepolisian sudah benar, seperti halnya kepolisian mengawal demo
ormas atau konvoi supporter bola yang sudah-sudah. Lantas, apakah bikers
ini mau disamakan dengan golongan itu, konvoi supporter yang kalap dan
kebanyakan ABG labil itu?, yang menang ataupun kalah tetap anarkis. Selain itu,
bukankah parade semacam ini semacam pertentangan dari framing sosial
ke-Jokowian-an itu, yang penuh dengan nilai merakyat, sensitif, dan sederhana.
Terakhir, saya yakin, pemilik Moge itu
adalah mereka yang berfikiran maju dan berpendidikan. Menjadi kaya tak lantas
salah, malahan setiap orang dianjurkan untuk berpunya. Seyogyanya, memiliki
kelebihan semakin bermanfaat bagi orang lain, atau cukup tunjukkan simpati anda.
Tak usah muluk-muluk untuk itu, cukuplah berhenti ketika lampu merah, itu saja.
***
Posting Komentar untuk "Yogya Bike Rendezvous; antara Parade Hedonisme dan Rasa Kebangsaan"