Mendadak ber-Sajak
Menjadi Penyair ? |
Saya suka menulis, dan telah mencoba pelbagai bentuk tulisan, apakah berita atau feature yang punya dimensi jurnalistik. Terkadang menulis nirfakta, seperti cerita pendek (sekali-hee), atau sajak dan puisi. Saya pada dasarnya belum memahami benar sajak dan puisi, kedua bentuk tulisan dari rana sastra ini.
Yang pasti, ketika mood lagi hangat, muncul tulisan yang
membuai atau ketika hati sedang tertekan, penyalurannya bisa lewat sajak yang
garang. Tidak bermaksud untuk berlebai ria, saya hanya mencoba jujur pada diri
sendiri, bahwa sebagai manusia, kita pada dasarnya mencintai keindahan termasuk
pada bahasa.
Berbicara sajak atau
puisi, apa beda antara keduanya, sehingga bagi saya tidak asal sebut, berani
menyimpulkan bahwa tulisan jenis ini sajak, lalu tulisan berikutnya bisa puisi.
Itulah saya mencoba, untuk mencari definisi secara online. Saya temukan bahwa ada beda
antar keduanya. Seperti kutipan berikut ini,
Dalam
kesusastraan Indonesia dikenal dua istilah yang sering dicampuradukkan, yaitu
sajak dan puisi. Istilah puisi berasal dari kata poezie (Belanda). Dalam bahasa
Belanda dikenal pula istilah gedicht yang berarti sajak. Dalam bahasa Indonesia
(Melayu) hanya dikenal istilah sajak yang berarti poezie maupun gedicht. Istilah
puisi cenderung digunakan untuk berpasangan dengan istilah prosa, seperti
istilah poetry dalam bahasa Inggris yang dianggap sebagai salah satu nama jenis
sastra. Jadi, istilah puisi lebih bersifat general, jenisnya, sedangkan sajak
bersifat khusus, individunya.
Sajak
adalah puisi, tetapi puisi belum tentu sajak. Puisi mungkin saja terdapat dalam
prosa seperti cerpen, novel, atau esai sehingga sering orang mengatakan bahwa
kalimat-kalimatnya puitis (bersifat puisi). Puisi menjadi suatu pengungkapan secara
implisit, samar, dengan makna yang tersirat, di mana kata-kata condong pada
artinya yang konotatif, demikian menurut Putu Arya Tirtawirya . Sementara
sajak, lebih luas lagi, tak sekadar hal yang tersirat, tetapi sudah menyangkut
materi isi puisi, bahkan sampai ke efek yang ditimbulkan, seperti bunyi. Maka
itu, sajak terkadang juga dimaknai sebagai bunyi. (kutipan dari Perbedaan Sajak dan Puisi, sumber http://www.sigodangpos.com/2010/02/perbedaan-sajak-dan-puisi.html)
Membaca kutipan
tersebut, saya berkesimpulan, tulisan-tulisan saya sebelumnya bisa jadi puisi
dan sajak. Tak ada standar pasti, juga penilaian jujur dari para ahli untuk
menggolongkan tulisan-tulisan dari hati itu adalah puisi dan sajak. Saya rasa
tak ada yang benar-benar mau dengan sengaja meneliti tulisan saya sebelumnya
itu, dan memang tak ada manfaatnya. Haaaa… maklum bukan penulis terkenal.
Namun bagi saya, Sajak
adalah gaya komunikasi yang merdu. Sajak membuai pembacanya melalui tata letak
dan pemilihan kata yang tepat. Pengemasannya menjadi hal yang menarik, hingga
buat orang suka membacanya sampai ke kalimat terakhir.
Saya membaca sajak
dari Sapardi
Djoko Damono di kumpulan sajak,
Hujan Bulan Juni. Ada persamaan rima, bunyi akhir kalimat. Kalimatnya singkat
dan jelas. Mudah dipahami karena disampaikan dengan kata yang sederhana. Namun ia
menjadi penuh makna ketika kata-kata itu dijalin dan dirangkai dalam ramuan
hati sang penulis, sehingga membacanya terasa nikmat. Inilah kekuatan dari
penulis sajak. Saya kutip, salah satu sajak Sapardi DD yang dikarang pada tahun
1966 itu.
“Sementara
Kita Saling Berbisik
Sementara kita saling berbisik
Untuk lebih lama tinggal
Pada debu, cinta yang tinggal berupa
Bunga kertas dan lintasan angka-angla
Ketika kita saling berbisik
Di luar semakin sengit malam hari
Memadamkan bekas-bekas telapak kaki, menyekap sisa-sisa unggun api
Sebelum fajar. Ada yang masih bersikeras abadi.
(1966)”
― Sapardi Djoko Damono, Hujan Bulan Juni
Sementara kita saling berbisik
Untuk lebih lama tinggal
Pada debu, cinta yang tinggal berupa
Bunga kertas dan lintasan angka-angla
Ketika kita saling berbisik
Di luar semakin sengit malam hari
Memadamkan bekas-bekas telapak kaki, menyekap sisa-sisa unggun api
Sebelum fajar. Ada yang masih bersikeras abadi.
(1966)”
― Sapardi Djoko Damono, Hujan Bulan Juni
Ada adegan yang
terekam dalam sajak ini. Adegan yang singkat namun hangat. Sebuah momen intim
entah perpisahan atau pertengkaran. Kita bisa menangkap emosi dan dimensi
kesunyian dalam sajak ini. Saya melihatnya sebagai sebuah ungkapan pada sebuah
kejadian singkat. Dan penulis jeli melukiskannya.
Sajak, juga adalah
ekspresi kreatifitas kesenian. Saya pikir setiap orang punya bakat seni. Kata-kata
pada dasarnya sesuatu yang awam bagi semua orang. Perbedaannya adalah pada
intuisi dan kreasi menyusun kata, sekaligus menjaganya dalam sudut emosi yang sama.
Pada tiap orang, bisa berbeda.
Saya mencoba
menulis salah satu sajak, dengan judul "Gerak dan Kabut Pagi", meskipun ini tidaklah begitu indah dibaca. Saya masih
belajar menyempurnakan intuisi dan kreasi menyusun kata, lantas menggunakannya
sebagai komunikasi hati. Singkatnya ini sajak amatiran. Namun, saya suka baca berulang-ulang.
Gerak
dan Kabut Pagi
Dalam semak, aku menakar jarak
Pelan melangkah antara ilalang juga
embun pagi
Jemariku raih bulir nya, dingin
membisu
Sejenak melambat gerak membeku
Lalu terhenyak kala sinar pagi
beranjak gemulai
Dibelai kabut setelah hujan tadi
malam
Biarkan aku berhitung
Berapa petak ladang yang ku semai
Berpeluh keringat pada musim kemarau
panjang
Jiwa adalah musafir
bertelanjang dada
Rakus mata air sabana
Aku dan ada kamu bersisi di pematang
Pada pagi buta, kita menghela kereta
kuda semu
Mengecoh nasib dibalik senyum serta
lamun
Tetaplah ternoda rinai hujan akhir
tahun
Dan telapak kaki kita masih penuh
lumpur
Hujan tak kenal kita
Ia congkak pada dahaga kita
Meski hujan akan bawa pelangi
Meski langkah kaki terseok arus kali
Esok, kita masih burung nasar
Melayang di angkasa kembali nanar
Dari peraduan sunyi di tepi kali
Ditumbuhi teratai warna warni
Aku dan ada kamu di baris cahaya
pagi
Adalah jiwa perengkuh kabut
sunyi
Dalam hasrat yang meletup-letup
bernyanyi
[aksansanjaya / 21 December 2013 at
00:57]
2 komentar untuk "Mendadak ber-Sajak "