Stop Bueng Antu
Dalam ragam
fenomena dunia ghaib, konsep Bueng Antu
memang kurang dikenal luas. Ini pendapat personal saja, sebab referensi
mengenai konsep “Bueng Antu” ini tidak
begitu familiar bagi masyarakat awam. Mungkin praktisi dunia ghaib saja yang
intim dengan makna, Bueng Antu atau
Buang Hantu ini.
Hantu kok dibuang, yah ini memang benar dan jadi fenomena mistik yang lumrah dalam masyarakat
Bangka Belitung. Jangan heran dan galau sebab ini hal yang biasa.
Membuang hantu atau
jin piaraan bisa dimulai ketika dukun-dukun di kampung hendak pensiun pada
suatu masa. Tentunya ketika pensiun inginnya aman dan bersih dari kewajiban ritual
magis itu. Semisal bakar kemenyan malam jumat atau membawa ketan hitam di
tengah kebun. Alasan lainnya karena para dukun sudah tua, ketika usia dirasa-rasa
tinggal hitungan jari, atau ketika ada niat hendak berangkat Haji.
Konon ketika ajal
menjemput, malaikat Izrail itu gampang tarik roh dari raga. Tidak sekarat lima
hari lima malam gara-gara hantunya berdiam di raga majikan. Kalau meninggalnya
mendadak, paling tidak “hantu” itu sudah diamankan ditempat yang selayaknya.
Tidak mondar mandir di rumah tuannya.
Bisa dibayangkan bagaimana jadinya makhluk kasat mata itu lalu lalang di
rumah.
Lokasi pembuangan biasanya
tempat sepi semisal hutan rimba, padang pasir atau laut. Lokasi harus jauh dari
peradaban. Jadi piaraan itu bisa
beradaptasi kembali dengan latar alamiahnya. Sehingga nantinya mereka bisa
tinggal dan menetap dengan aman tanpa ganggu manusia.
Begitu kepercayaan
masyarakat lokal kita tentang perihal Bueng
Antu ini, yang makin samar seiring perkembangan zaman.
Anehnya dalam era
yang serba digital dan kapitalistik ini, modus Bueng Antu pun ternyata tetap eksis. Malahan makin destruktif saja.
Pelakunya bukan dukun, namun orang yang memang “pintar”, yang kita tak tahu
tempat tinggalnya. Hantunya bahkan super magis, kita tak bisa identifikasi
jenis dan varian piaraan itu. Yang bisa kita rasa cuma pengaruh hantunya (ghost effect) yang makin hari makin
menjadi.
Alam kita makin tak
beraturan lagi. Degradasi areal hijau makin
meluas. Tiap hari kita tak pernah tahu dengan pasti berapa meter kehijauan
hutan itu berkurang, berganti dengan pasir. Yah
cuma pasir yang tak punya humus lagi. Kadang berganti dengan genangan air.
Ternyata tidak cuma
di darat saja. Efek hantu ini bergerilya bahkan menghancurkan terumbu karang di
sekeliling pantai kita. Anak-anak ikan itu tak bisa bermain dan tumbuh
berkembang. Induknya tak bisa bertelur di habitat alaminya. Nelayan pun terpaksa
pindah jangkar, tidak ke tengah namun ke pinggir buat gali pasir. Menyelam
dengan alat seadanya untuk hasil timah yang tak seberapa.
Jelas tak seberapa
dibanding 40-an kapal isap yang hilir mudik di perairan kita. Entah berapa
metrik ton timah diangkat lalu dibawa pergi berikut fulus penjualan itu.
Timahnya dibawa pergi, duit hasil jualannya juga ikut raib entah kemana.
Harapan bahwa ratusan milyar itu mengalir sebagai roda ekonomi Babel jauh dari
angan.
Dukunnya mungkin
terlalu canggih. Saking canggihnya kita tak pernah tahu nomor rumahnya itu.
Mereka seolah turun dari langit dan kembali terbang membawa rupiah. Masyarakat
kita cuma dapat remah-remahnya saja.
Daerah ini semacam tempat
Bueng Antu itu. Untuk menggambarkan
bahwa kita dan mereka menjadikan pulau ini over
exploitated, nafsu kita sendiri adalah hantunya.
Berdayakan Warga
Banyak yang bilang
kebijakan pertambangan kita salah besar. Ada pula yang bilang, pemerintah tak
bisa bikin program alternatif, ada yang bilang masyarakat kita memang dak kawah nyusah itu, maunya serba
instan. Bahkan ada yang bilang, ekonomi kita baik-baik saja loh, orang tetap makan dan minum, kita
bisa beli emas dan kredit motor dengan mudah. Terus masalah buat loh !.
Puluhan seminar
diadakan, ratusan rekomendasi digaungkan agar kita memperhatikan pembangunan
yang berkelanjutan. Sejumlah program pemerintah daerah pun digulirkan apakah
jangka pendek atau jangka panjang. Program yang diyakini mampu jamin kehidupan masyarakat
Bangka Belitung lebih baik di masa mendatang.
Namun entah
mengapa, program-program itu seolah jalan di tempat. Kita bisa jadi masih
terkena efek hantu itu. Rekomendasi tinggal rekomendasi, Ngerit makin menjadi-jadi. Kita hidup dalam euphoria kejayaan yang
temporar pada dasarnya.
Tapi sudahlah,
saling menyalahkan. Kebun sudah keburu berganti Tailing. Bakau mati tak
tumbuh lagi. Sudah saatnya melihat ke depan dan berkreasi untuk Bangka yang
lebih baik. Kita perlu terobosan pembangunan yang baru. Timah tak bisa terus
menerus jadi tulang punggung ekonomi kita.
Harus disadari
model pembangunan kini berubah. Bukan model pembangunan atas ke bawah itu.
Bukan semacam top-down planning yang
didesain dari atas. Pemerintah tak bisa selalu benar untuk tahu seberapa besar
ingin rakyat. Hal yang bikin Jokowi harus blusukan
itu. Karena dia sadar, masyarakat kini makin pintar.
Kita perlu menyegarkan
kembali paradigma pembangunan. Bahwa seyogyanya paradigma pembangunan kini
lebih berpusat pada rakyat (people
centered development). Indikator pembangunan tak mesti diukur lewat
persentase pertumbuhan ekonomi atau seberapa jauh kebutuhan dasar dipenuhi oleh
pemerintah. Namun ia lebih berorientasi pada pemberdayaan masyarakat sebagai
pelaku sekaligus sasaran pembangunan itu.
Apapun bentuk
pembangunannya harus melibatkan peran aktif masyarakat. Pada konteks ini,
masyarakat dipandang sebagai entitas penting dalam dimensi pembangunan. Ada upaya
pengakuan, penguatan dan pemberdayaan potensi rakyat, baik identitas sosial
budaya maupun harkat dan martabatnya.
Inilah yang
dimaksud dengan pemberdayaan. Bagaimana individu, kelompok ataupun komunitas
berusaha mengontrol kehidupan mereka sendiri dan mengusahakan untuk membentuk
masa depan sesuai yang diinginkan.
Pada akhirnya
nanti, proses pembangunan tidak saja menumbuhkan dan mengembangkan nilai tambah
ekonomis tetapi juga nilai tambah sosial. Pembangunan yang tetap bertumpu pada
aspek sosial budaya yang hidup dan berkembang.
Lantas bagaimana
konsep ini diaplikasikan kepada masyarakat kita, yang masih terjebak pada
pemikiran dak kawah nyusah itu. Saya
pikir kita sendiri masih terlalu naïf pada labeling ini. Sebab identitas seperti
Nganggung atau Sedekah Kampong itu
kerap dilakukan. Nilai-nilai sosial yang pada dasarnya jauh dari asumsi negatif
diatas.
Salah satu solusi
untuk hal ini adalah menyerahkannya pada penguatan komunikasi pembangunan.
Sebab kedudukan komunikasi dalam pembangunan adalah sebagai bagian integral
dari pembangunan dan komunikasi adalah seperangkat instrument pembawa konsep baru
pembangunan.
Idealnya, komunikasi
dalam hal ini diwakili salah satunya oleh media massa diharapkan dapat
menyampaikan informasi pembangunan kepada masyarakat. Selain itu media dapat memberikan
kesempatan pada masyarakat untuk berpartisipasi secara aktif dalam proses
pembuatan keputusan lewat serangkaian dialog. Media juga diharapkan dapat
melakoni peran pendidik bagi masyarakat.
Selanjutnya, pendekatan
komunikasi yang digunakan seyogyanya bersifat partisipatoris. Bahwa unsur-unsur
yang terlibat (komunikator dan komunikan) setara dalam posisi dan peran.
Sehingga pada nantinya ada kesempatan pertukaran dan merundingkan makna pesan
untuk keselarasan dan keserasian makna bersama dalam setiap agenda pembangunan.
Jika konsep ini diterapkan
maka akan menumbuhkan kreatifitas dan kompetensi masyarakat dalam
mengkomunikasikan gagasannya. Orang kerap menyebutnya sebagai civil of journalism, jurnalisme hati
nurani.
Konsep pembangunan
yang berorientasi warga, kemudian didukung dengan pendekatan komunikasi partisipatoris
akan mengarahkan model pembangunan yang damai tanpa menghilangkan identitas
sosial dan budaya. Jika ini dikembangkan, ghost
effect itu bakal terusir jauh.
Sebab dalam proses Bueng Antu itu ada kearifan lokal yang
sebenarnya bisa diterapkan dalam era sekarang. Bagaimana menjaga keseimbangan
manusia dengan alam. Ada penghormatan pada alam dan manusia. Ada batas
geografis meski tak tertulis namun jelas mana areal untuk berdiam dan yang tidak.
Konsep yang dulunya orang tua kita lakukan dengan Berkelekak itu, menanam pohon buah-buahan di kebun atau belakang
rumah itu. Itulah mengapa jarang bahkan tidak pernah dukun buang hantu ke Kelekak atau pemandian umum.
Sebab mereka tahu,
sehitam-hitamnya ilmu mereka punya, ada rasa tanggung jawab terhadap keseimbangan
dan kemaslahatan umat. Mereka pun tahu kapan harus berhenti dan meninggalkan
praktik animisme ini. Bahkan motif memiliki ilmu hitam ataupun putih itu pun
dilatar belakangi semata-mata pada tujuan pertahanan diri. Bertahan hidup baik
dari penjajah atau Lanun.
Begitu pun kini, kita
berharap bahwa cukup lah kita merusaki alam. Mulailah merangkul masyarakat,
jangan hanya investor tak jelas asal usulnya itu. Pemerintah sebenarnya tak
sendiri, ada masyarakat yang bisa diajak agar sama-sama dapat berkreasi di tanah sendiri. *** (dimuat di harian Bangka Pos, Sabtu 20 Juli 2013).
Posting Komentar untuk "Stop Bueng Antu"