Agar tidak jadi Komunitas yang Galau
Januari
Februari ini, ada dua kegiatan besar yang saya ikuti. Tentunya Besar menurut
ukuran saya, lumayan untuk kategori tingkat kabupaten. Kegiatan itu sama-sama
peringatan hari lahirnya (Milad) organisasi atau komunitas yang saya ikuti.
Pertama adalah milad ketiga dari Komunitas Fotografer Sungailiat (Komfos) dan
milad keempat Himpunan Pecinta Alam Pucuk Idat (Himpa Pucuk Idat).
Keduanya
organisasi lokal tingkat kabupaten. Kalau untuk mencoba menyejajarkannya dengan
istilah birokrasinya. Keduanya organisasi yang biasa saja tidak dikenal secara
luas semacam KNPI, Partai Politik atau LSM terkenal lainnya. Namun tidak jadi
soal. Bagi saya kedua organisasi ini sifatnya emosional.
Saya
suka fotografi. Dunia ini memberikan saya pengalaman yang berbeda. Ada dunia
seni yang baru. Sebuah ketrampilan baru tentang gambar dan cahaya. Dunia yang
memberikan tantangan baru setiap waktunya.
Dunia
pecinta alam, meski sebenarnya tidak identik dengan kegiatan daki mendaki
gunung. Tapi lebih ke kegiatan bersih dan penghijauan lingkungan itu, membuat
saya menjadi makin berharga. Berharga sebagai manusia.
Tambah
lagi, saya diminta jadi sekretaris untuk kedua organisasi ini. Mau tidak mau
ada semacam tanggung jawab bagaimana membesarkan organisasi kecil ini. Segala kemampuan
dan ketrampilan dicurahkan semampunya.
Prinsip
saya adalah tidak fanatik atau militant dan tidak pula cuek bebek. Tidak mati-matian
memberikan seluruh waktu untuk kegiatan komunitas sampai melupakan nafkah
utama. Di lain sisi tidak cuek bebek terhadap agenda dan kerja dari komunitas.
Sebab kalau punya pikiran semacam itu, ngapain repot-repot bentuk komunitas?.
Cukup berdiam diri saja dirumah, nonton tivi atau baca buku.
Saya
perlu tekankan kalimat tidak fanatik. Sebab seringkali sikap keuletan dan
kesetiaan terhadap sebuah hal gampang dicap fanatik. Anehnya orang-orang atau
anggota komunitas yang kebanyakan tidak bekerja saja yang punya anggapan ini.
Ibaratnya ikut saja kemana air mengalir. Kalau bagus diikuti. Tinggal minta
jadinya saja. Kalau ada acara, datangnya pas hari H saja.
Padahal
sebelum hari H adalah kegiatan yang memakan banyak waktu dan fikiran. Alasannya
ada-ada saja. Ada yang sibuk. Ada yang tidak bisa meninggalkan keluarganya. Ada
pula yang pura-pura tak mendapat kabar via sms atau telepon. Atau tidak buka
facebook seminggu.
Nah
golongan semacam ini anehnya berprasangka negatif saja. Usaha yang produktif
dari kawan-kawan selalu dimaknai secara negatif. Kalimat-kalimatnya bisa saja,
“ah ini gampang,”, “ah si B kayaknya gak bisa diajak kerjasama,” “ah ini kan
kerjaan kalian,kita mah ikut saja,”.
Namun,
ada pula yang memandang remeh kegiatan semacam ini. Sebab komunitas biasanya
kecil dan kelompok penghobi saja. Jadi tak terkena hukum kerja periodik.
Eksistensi kelompok tidak diukur dari kegiatan teratur dan identitasnya, namun
lebih kepada kekeluargaan dan emosional semata.
Kalau
ada acara, kalau sempat, kalau tidak bentrok dengan kerjaan atau ngapel, kalau
dan kalau lainnya, saya mau ikut.
Namun
saya pribadi lebih suka tidak mempersoalkannya. Sebab bagi saya, berbuat baik
itu tidak salah. Sekarang bisa saja dimaknai secara negatif, namun di kemudian
hari akan tampak betapa kinerja itu semata-mata untuk kemajuan organisasi.
Sebab
organisasi terutama komunitas tidak mewajibkan ketaatan penuh pada
organisasinya. Lebih pada sukarela dan ikhlas. Bagi saya pikiran-pikiran diatas
semata-mata dinamika yang berkembang. Ini wajar dan normal-normal saja. Bahkan untuk
tingkat sekolah saja, sebuah pendidikan formal, ada pula yang bolos sekolah
atau ada yang tidak masuk kerja dengan sejuta alasan itu.
Ada
beberapa catatan yang coba saya deskripsikan dan analisa dari dinamika kegiatan
di komunitas. Rangkuman ini berdasarkan pantauan di lapangan dan hipotesis yang
dibangun berdasarkan pengalaman pribadi.
Kelemahan Komunitas
Sebenarnya
ada banyak hal mengenai kelemahan/ beserta kelebihan ketika bergabung di
komunitas atau organisasi penghobi. Berikutnya saya akan memakai kata komunitas
atau perkumpulan sebagai bahan telaah saya.
Kelemahannya
adalah pertama, sifat keanggotaanya bersifat cair dan tidak mengikat. Hal ini
mengakibatkan soliditas keanggotaan tidak bisa diukur. Tidak ada keterikatan
serta tanggung jawab moral dari anggota. Datang tak dipaksa keluar juga tak
mengapa. Tidak ada sanksi atau denda.
Kelemahan
kedua adalah, lebih bergantung pada satu sosok atau tokoh. Komunitas biasanya
mengacu pada satu atau dua orang tokoh yang menjadi titik sentral aktifitas.
Tokoh ini bisa saja seseorang yang senior atau tua. Atau bisa jadi punya
kekuatan ekonomi tertentu. Jadi kalau tokoh meninggalkan komunitas atau
organisasi bisa jadi kelembagaan akan tumbang. Hilang ditelan angin.
Ketiga,
budaya organisasi lebih mengacu pada emosional. Jadi setiap kegiatan yang
dilakukan biasanya disertai dengan nalar emosional. Ingin unjuk diri. Ingin
identitas komunitasnya dikenal oleh orang banyak. Hal ini menjadi bumerang, satu sisi bisa
menjadi pembakar semangat, namun disisi lain, ketika nalar emosional atau mood
tadi hilang, maka kerja organisasi otomatis melempem dan statis.
Keempat,
termasuk kelemahannya adalah tujuan komunitas yang nirlaba dan kesenangan atau
kepuasaan bathin. Sebenarnya ini termasuk keunggulan. Namun ternyata, karena
tujuannya yang tidak ambil untung tadi bisa menjadi sebab ketidakpedulian
sesama anggota.
Kegiataan
yang kebanyakan amal saja bisa salah. Kebanyakan foya-foya juga bisa salah.
Tidak ada money dalam komunitas menjadi sebab orang sedikit malas berkecimpung
di dalamnya.
Kelima,oleh
sebab komunitas itu cuma “kumpulan penghobi saja” maka tidak ada gengsi atau
status sosial bila berlama-lama terlibat didalamnya. Tidak ada nama buat
anggotanya. Tidak bisa mencari massa dan memperkenal identitas diri untuk
kepentingan jangka panjang. Akibatnya, ia senantiasa dipandang remeh temeh
saja. Cukup kumpul saja dan gabung. Tidak usaha mengeluarkan energi yang
berlebih.
Kelebihan di Komunitas
Diatas
tadi adalah kelemahan dari komunitas, namun ada pula keuntungan atau keunggulan
yang didapat dari komunitas bagi anggotanya sendiri.
Pertama,
memperbanyak kawan. Ini sangat penting dan perlu dicamkan baik-baik bagi anda
yang suka berkawan. Sebab memperbanyak kawan pada dasarnya memperbanyak rezeki pula.
Kalau tidak suka berkawan jangan ikut komunitas. Berdiam diri saja dirumah,
atau kalau suka kegiatan, misal fotografi.
Hunting foto saja sendiri. Bawa kamera sendiri. Tidak ada yang melarang.
Kelebihannya
kedua adalah ada wadah pemersatu. Komunitas berdiri sejatinya sebagai wadah
bagi penyuka kegiatan yang sama. Ada wadah untuk saling sharing dan transfer
ilmu dan ketrampilan. Bagi anda berpandangan bahwa masuk di komunitas tidak ada
untungnya, tampaknya ada adalah tipe yang jarang datang di acara komunitas.
Ketiga,
masuk di komunitas memberikan kita ilmu dan ketrampilan baru. Ilmu berorganisasi.
Ketrampilan atas hobi yang kita suka. Ada transfer dan pembelajaran bagaimana
berhubungan dengan orang banyak.
Keempat,
eksistensi diri pada prinsipnya makin dikenal ketika bergabung dengan
komunitas. Sebab komunitas secara tidak langsung ikut memberikan peran terhadap
kapabilitas dan kemampuan seseorang. Dari komunitas, bisa lahir orang yang
mahir dan handal dalam bidangnya.
Kelima,
komunitas memberikan kita amalan tersendiri. Pada dasarnya banyak amal itu
bagus. Semakin beramal maka akan semakin besar ia memberi dampak bagi kemajuan
komunitas. Ini tidak bisa dipungkiri dan memang begitu Sunnatullah nya. Apalagi
amalan yang dikerjakan secara bersama-sama bukan perorangan.
Prinsip
ini bahkan diterapkan oleh perusahaan-perusahaan besar. Dimana perusahaan besar
rela menyisihkan keuntungannya bagi orang yang tidak mampu atau untuk kegiataan
yang bertema sosial. Ini bukan cari muka, namun lebih pada perhitungan amaliah
yang bahkan tidak bisa dikalkulasikan lewat rumus matematika.
Bagaimana seharusnya bersikap
di Komunitas ?
Ada
beberapa hal perlu didiskusikan lebih lanjut mengenai solusi agar komunitas
dapat bertahan lama dan mampu memberi warna dalam tahapannya.
Pertama,
harus ada aturan main yang jelas dan disepakati secara bersama. Baik itu dalam
bidang tata tertib komunitas atau etika di komunitas. Ini penting, meskipun ia
sifatnya cair dan senang-senang, namun harus ada guidance yang jelas mana yang boleh dan mana yang tidak. Agar
dikemudian hari tidak timbul kesalahpahaman dan misskomunikasi.
Kedua,
harus disepakai siapa orang yang bertanggung jawab mengurusi komunitas.
Ibaratnya person in charge.
Secair-cairnya komunitas, tetap diperlukan orang yang bertugas mengatur
segelintir kepala itu. Kecuali kalau anda sendiri. Tidak perlulah orang lain
yang mengatur.
Mengapa
perlu struktur pengurus, ini supaya kerja komunitas dapat terarah dan tertib.
Tidak asal lempar tanggung jawab dan itu-itu saja yang bekerja. Harus ada orang
yang sanggup mengurusi komunitas. Apakah pada posisi ketua, sekretaris dan
bendahara.Pengurus
juga harus melalui mekanisme pemilihan yang demokratis. Pengurus harus berganti
tidak boleh terlalu lama menjabat.
Namun
saya punya pandangan yang berbeda dalam hal pengurus di komunitas ini, menurut
saya, harus ada pengurus harian ibaratnya semacam dewan pengurus harian. Ini
bukan posisi ketua. Posisi ketua sebaiknya pada orang yang memang dikenal
secara luas dan kuat secara status sosial. Nah ketua ibaratnya penasehat atau
pelindung komunitas. Sedangkan pelaksana harian adalah semacam dewan pelaksana
yang terdiri atas empat atau lima orang.
Ini
sifatnya kolegial. Jadi pelaksana harian tidak dipegang oleh satu orang, namun
lebih dari itu. Mirip di Komisi Pemberantasan Korupsi. Keputusan mesti bulat diamini oleh seluruh dewan
pengurus. Kegiatan yang dilakukan juga wajib diketahui dan disetujui oleh dewan
pengurus ini.
Hal
ini untuk mensiasati keanggotaan dalam komunitas yang sifatnya cair dan
sukarela tadi. Sebab kepatuhan pada tradisi komunitas lebih dipengaruhi oleh
faktor emosional belaka. Dengan adanya kepemipinan yang kolegial tadi dapat
dipertahankan loyalis-loyalis komunitas. Faktor like lebih dominan dibanding
dislike nya.
Solusi
selanjutnya adalah penguatan kaderisasi. Yah ini seringkali dilupakan oleh
orang banyak. Saking menggebu-gebunya hati dan kompaknya lima atau sepuluh
orang tadi, tidak terasa ketika berjalan waktu, komunitas yang mereka bentuk
seolah jalan ditempat dan statis. Muda dan tua sendiri. Pintar dan bodoh
sendiri.
Solusi
selanjutnya adalah penguatan nilai nilai sosial semacam toleransi, silahturahmi
dan komunikasi yang efektif serta saling menghargai. Nilai-nilai semacam ini
perlu dijaga dan dikomunikasikan secara verbal ataupun nonverbal antar sesama.
Sebab, dalam komunitas rentan sekali misskomunikasi disebabkan perbedaan
ketrampilan dan kapabilitas dalam bidang yang sama. Jurang ini dapat
menciptakan rasa ketidak senangan dan ketidakpedulian yang berakibat pada kemunduran
komunitas itu sendiri.
Terakhir,
mirip lagu Armada Band, mau dibawa kemana komunitas sesungguhnya?, tujuan
didirikannya komunitas mestilah dipikirkan secara matang dan proporsional.
Inilah nantinya akan menentukan sepak terjang komunitas itu sendiri.
Apakah
tujuannya hanya sebatas wadah kumpul-kumpul, apakah untuk pergerakan yang lebih
luas ? misalnya ke unsur pendidikan dan sosialnya. Tujuan ini nantinya akan
menjadi komparasi pada anggotanya sendiri. Apakah ada kesamaan atau perbedaan
dengan tujuan pribadi. Nanti pada akhirnya, tujuan dan arah jalan komunitas itu
lah yang akan menjadi indikator siapa anggota yang kuat dan siapa yang mundur
selangkah demi selangkah.
Loyalitas
pada komunitas memang bersumber dari penentuan tujuan ini. Ada yang memang tidak
keberatan meluangkan waktu demi komunitas ditengah seabrek kegiatannya. Dan
memang ada pula yang berkeberatan demi alasan waktu ditengah keluasan waktu
yang dipunyainya. Bergabung di komunitas, seyogyanya bukan karena tidak ada
waktu, namun karena mau meluangkan waktu apabila dilibatkan dalam
kegiatan-kegiatannya.
Sebaliknya,
komunitas tetaplah komunitas, ada kepentingan pribadi yang memang tak semuanya
bisa dipenuhi dari komunitas. Jadi, pintar-pintar meluangkan waktu. Tidak
memaksakan diri sehingga mengorbankan keluarga dirumah. Jangan pula cuek bebek,
dan jadi pecundang. Takut diserahkan amanah namun berkoar-koar teriak tanpa ada
kejelasan yang dikerjakannya.
Kedewasaan
dalam berorganisasi memang sangat diperlukan. Inilah mungkin mengapa, orang
yang dari awal aktif berorganisasi dan bergaul lebih supel dan rileks. Dan
lebih cepat naik ke level tertinggi. Ia lebih dewasa dan matang dalam bersikap.
(AKSANSANJAYA)
1 komentar untuk "Agar tidak jadi Komunitas yang Galau"