Komunitas Lokal; Perusuh atau Pemain
suasana kemah diksar Himpunan Pencinta Alam Pucuk Idat |
Postingan
kali ini mengenai keberadaan komunitas lokal daerah. Terutama mengenai Bangka
Belitung. Berbicara komunitas berbicara tentang sekelompok orang yang
bermufakat bersama. Mufakat karena sama hobi, kesenangan atau pekerjaan.
Begitulah karena ada banyak hobi, kesenangan atau pun pekerjaan ( profesi) di
dunia ini, maka banyak pula komunitas yang muncul.
Karena
semakin majunya peradaban terutama teknologi komunikasi, maka kesempatan orang
per orang untuk bermufakat semakin besar dan efisien. Cukup dengan buat grup di
Facebook, lalu add sejumlah teman. Jadilah komunitas anak Bangka, komunitas
foto, komunitas pecinta kucing, remeh temeh sampai serius. Semuanya bisa
terwujud di era ini. Gampang dan cepat.
Selain karena
faktor kesamaan terutama hobi, komunitas biasanya juga dicirikan dengan aura
kekeluargaan yang kental. Antar anggota dekat dan intim. Sifat keanggotaanya
pun cair tidak mengikat. Paiman bisa jadi hari ini masuk komunitas motor Mio,
besoknya ia cabut (keluar) gara-gara Mio ditarik agen. Ia tak lantas dikenai
sangsi administratif atau tuntutan denda. Sebab ia pun tak mengeluarkan uang
atau sumbangan ketika masuk komunitas.
Pertemuan
tidak selalu rutin, dan bisa dimana saja. Di Pantai, kebun atau taman bermain.
Sah-sah saja. Bisa juga tidak ada sekretariat resmi. Namun struktur organisasi
berlaku untuk komunitas. Posisi ketua dan wakil, sekretaris dan bendahara masih
diperlukan. Ibaratnya, sesantai-santainya aura komunitas, tetap diperlukan
person in charge apabila hendak melakukan aksi atau acara komunitas pada suatu
ketika.
Pun begitu adanya di Bangka Belitung, terutama
pulau Bangka ini. Ada bermacam dan beragam komunitas, sebut misalnya Komunitas
Hijab (anggotanya perempun yang ber hijab), komunitas Thunder (Pria macho
pengguna motor Thunder), tak kalah ada perempuannya dengan komunitas Mio
(pengguna motor Mio), Komunitas Blogger Babel (kumpulan para blogger asal
Bangka), Komunitas Pencinta Alam, Komunitas Off Roader, komunitas fotografer Bangka Belitung islands
(FBI),bahkan karena berbeda jarak dan tipikal daerahnya, muncul komunitas
fotografer Sungailiat (komfos), untuk Pangkalpinang ada PPC (Pangkalpinang
Photografer Community), ada pula Komunitas Fotografer Mentok (Kite) dan semacamnya.
Saya tak
bisa menyebutkan satu persatu seberapa ragam komunitas di Bangka Belitung,
sebab sebagai sebuah komunitas, Tak ada data resmi yang bisa diambil sebagai
penegasan. ia tak mesti didaftarkan di Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia
(Depkumham) atau di Dinas terkait. Terkecuali organisasi massa semacam Lembaga
Swadaya Masyarakat (LSM) atau sejenisnya.
Komunitas
semacam jamur di musim penghujan, atau bisa tahan lama seperti granit di
Tanjung Tinggi.
Perusuh atau Pemain ?
Pertanyaan
paling utama adalah, seberapa besar pengaruh komunitas ini pada alam sekitar?.
Mampu kah keberadaanya memberi manfaat bagi masyarakat umum. Atau sebaliknya,
tak berarti bagi orang banyak. Bahkan jadi perusuh ketertiban. Pengganggu
kenyamanan umum. Ini pertanyaan yang menggelitik
Latar pertanyaan
ini adalah pada asumsi bahwa kemajuan sebuah kelompok mesti lah ditunjang oleh
lingkungan yang supportif. Kebesaran sebuah komunitas tak bisa dipisahkan dari
seberapa besar komunitas memberi bagi orang banyak.
Logika
sederhananya, orang yang terlalu individualistis jarang punya banyak teman. Ia
jadi kesepian dan autis sendiri pada akhirnya. Sedangkan orang yang sosial
tinggi, punya banyak teman dan diterima dimanapun berada. Itulah hukum alam
bekerja.
Dan
berdasarkan logika itu, timbul semacam “kewajiban” bagi sebuah komunitas untuk
bisa berbagi kepada sesama. Suka atau tidak suka prinsip berbagi ini menjadi
tolak ukur raihan kesuksesan sebuah komunitas.
Tentu saja,
tak semua bisa mengamini bahwa prinsip berbagi itu perlu. Sebab sebagai sebuah
kumpulan orang dengan kesamaan hobi. Sudah dianggap sukses apabila dapat
menggelar kegiatan di lingkungan sendiri. Ibaratnya, kalau hari ini saya dapat
berkumpul bersama teman-teman sesama pembaca novel (komunitas pembaca novel
laris), lalu mampu melakukan pembacaan kritis pada sebuah novel diselingi
dengan diskusi antar sesama. Kumpul-kumpul pada sore hari di bawah rindang
pepohonan ini bisa dianggap berhasil. Cukup sampai disitu. Untuk kelanjutannya,
disetting bulan depan dengan judul novel yang berbeda. Cukup begitu saja dari
bulan ke bulan.
Kalau bisa
disebut, alur kegiatan komunitas semacam itu tipikal individualistik. Saya
tidak menyebut itu sebagai kesalahan. Tentu saja tidak. Namun perulangan
kegiatan semacam itu akan bikin sibuk sendiri. Orang-orangnya itu dan itu lagi.
Ia sulit berkembang. Tiada kaderisasi. Jadi kalau tokoh utama komunitas pergi
entah kemana, maka bisa jadi bubar dengan sendirinya. Tinggal lah novel yang
tersusun rapi di lemari berikut memoir syahdu di musim penghujan. Ia kenangan yang
a history.
Ada pula ekstrim, bikin komunitas pencinta
graffiti (misalnya). Bikin acara di sebuah pantai. Ada kegiatan di hari nan
cerah. Macam-macam acaranya. Saking banyaknya, batu granite yang lebar dan
lapang itu kena eksesnya. Dicorat coret biar ada kenangan katanya. Seperti
pasangan muda-mudi
mabuk kepayang itu. Beringin di belakang kena imbas, terukir indah tanda love
dan inisial.
Jadi ingat di sebuah kota, ada supporter sepakbola yang sangat mencintai tim kesayangannya. Saking fanatiknya, lampu jalan, mobil umum, jalan umum kena imbas. Jika menang,mereka konvoi gaya koboy sambil arogan dan destruktif. Kendaraan umum kena pentung, kaca dan lampu jalan pecah. Jalanan macet. Sebab konvoi nya mengular. Ini jika menang, bayangkan apa yang terjadi kalau timnya kalah bertanding?.
Jadi ingat di sebuah kota, ada supporter sepakbola yang sangat mencintai tim kesayangannya. Saking fanatiknya, lampu jalan, mobil umum, jalan umum kena imbas. Jika menang,mereka konvoi gaya koboy sambil arogan dan destruktif. Kendaraan umum kena pentung, kaca dan lampu jalan pecah. Jalanan macet. Sebab konvoi nya mengular. Ini jika menang, bayangkan apa yang terjadi kalau timnya kalah bertanding?.
Saya tidak
ingin menilai dan berprasangka buruk terhadap komunitas yang ada di Bangka
Belitung khususnya Bangka.Katakanlah ini sebagai sebuah harapan warga
masyarakat terhadap keberadaan komunitas itu sendiri. Adalah wajar jika masyarakat
berharap positif pada keberadan komunitas. Sebab ia bagian dari sebuah sistem
sosial juga. Ada proses pengaruh dan dipengaruhi. Ada harapan dan doa. Hubungan
yang timbal balik.
Jawaban
atas pertanyaan diatas kembali kepada diri masing-masing. Sejauh mana komunitas
hendak dibawa, dan seberapa lama ia mesti ada?.
Harus ada evaluasi dan evaluasi terus menerus. Semakin besar komunitas pasti didukung oleh
masyarakatnya sendiri. Usahakanlah tidak
selalu diluar ring, Jadilah “pemain”
dalam alur sosial masyarakat !. Sebagai komunitas yang bisa menularkan nuansa
positif keberadaannya tentu saja. (aksansanjaya)
Posting Komentar untuk "Komunitas Lokal; Perusuh atau Pemain"