Cantik kata Media
Cantik ini kata yang orang suka. Orang kebanyakan termasuk saya. Sebuah
istilah atau wakil ungkapan hati pada
sesuatu yang menarik hati dikarenakan bagus secara fisik. Cantik mengacu pada
sebuah keindahan mata.
Menggambarkan seseorang cantik itu utamanya pada ciri-ciri fisik.
Berambut panjang terurai sedikit ikal. Wajah tirus, hidung mancung mata lentik.
Pipi akan lebih menarik dengan lesung pipit. Kulit putih mulus. Tubuh
proporsional. Lekat pada kata sintal atau semok. Kaki seperti menjangan.
Yang orang bilang, seperti kijang berlari itu. Ramping dan kokoh.
Tangkas namun gemulai. Alamak jang!...
Orang-orang cantik ini sering muncul di media massa. Di sampul majalah.
Di baligho telepon seluler atau iklan mini produk elektronik.
Mereka adalah manusia dengan kategori cantik. Perempuan-perempuan yang
bergaya di pemilihan putri pariwisata, kontes kecantikan tingkat RT atau putri
Indonesia tercinta ini. Dunia mahfum dengan acara Kontes Miss Universe. Meski
didemo saban tahun.
Mereka adalah istimewa. Bagi yang berkategori cantik, bersiap sedia
dalam program seleksi super ketat dalam memilih pasangan. Sebab kumbang seolah
datang dari segala penjuru angin. Kumbang ini datang tak diundang dan kadang
sukar diusir.
Mereka yang pertama mendapat tatapan mata. Pertama mendapat ungkapan
cinta. Pertama mendapat tawaran payung ketika hujan. Duduk paling utama.
Spesial lekat lagi dengan cantik.
Saya teringat pada kalimat seorang teman wanita. Dulu ketika masa
kuliah. Ketika mengutarakan kata cantik. Teman langsung bertanya. Seperti apa
sih orang cantik itu?
Bagi saya mereka adalah seperti Tamara Blezenski.
Ia tak setuju, lalu menggugat dengan tanya, kata siapa?
Saya jawab kata orang-orang ramai.
Ia bilang, orang-orang mana?
Nah loh…bukan kah setiap orang sepakat bilang bahwa Tamara Blezenski itu
cantik alang kepalang. Untung saja tak ada lowongan jadi Bidadari. Kalau ada,
mungkin kita akan susah mencarinya sebab ia telah terbang ke Kayangan itu.
Bagi teman saya, cantik itu relatif. Ia sebuah konsep yang diciptakan
oleh media. Media yang bilang bahwa ciri-ciri diatas itu cantik. Media yang
mengkonstruksi realitas sebuah makna cantik. Lengkap dengan contoh yang
terpampang di televisi tiap detik.
Saya tak menyadari. Saya menolak dengan keras pandangannya. Saya pikir
ia mungkin merasa marah sebab ia memang tak selaras dengan ciri fisik di atas.
Bagi saya cantik itu… yah tak jauh-jauh dari pemain utama sinetron kita.
Teman saya penggiat feminisme. Yang memperjuangkan konsep kemajuan kaum
wanita.
Lalu berbilang tahun, baru saya menyadari. Memang harus kita akui selama
ini hidup memang dijejali oleh realitas media. Kata cantik itu dipersepsi
selaras dengan ciri diatas. Oleh media itu sendiri, oleh industri yang penuh
dengan perhitungan laba dan rugi.
Cantik itu seperti baligho terpampang di sudut dan pinggir jalan. Desainer
sengaja dipesan untuk menampilkan perempuan lesung pipit dan rambut ikal.
Film memang menampilkan wajah tirus dan panjang rambutnya, agar ia
dinikmati selama durasi dua jam itu.
Dangdutan organ tunggal pun di timpali goyangan panas agar penyanyi nya
tampak lebih cantik lagi.
Media massa adalah sebuah industri yang lengkap dengan manajemen,
penjualan dan kreatifitas. Bahkan pada sebuah berita pun, Koran seringkali
memuat judul dengan nada tendensius, “Wanita
cantik itu diduga korupsi 1 milyar”.
Atau “Gadis Cantik berkulit putih itu Meninggal Karena Overdosis.”
Media yang bikin cantik selaras dengan kulit putih. Iklan pun pada
akhirnya harus memuat mereka pada ciri ini.
Iklan yang sebenarnya adalah eksploitasi wanita terselubung. Wanita
adalah obyek penderita dalam dunia media massa. Sebuah dunia yang ruhnya adalah
untung dan untung. ini adalah dunia kapitalisme bung !.
Maka jangan heran ketika, setiap jengkal tubuh wanita adalah ladang
mengeruk keuntungan. Rambut untuk iklan Shampo. Tubuhnya untuk iklan lotion
atau sabun mandi. Kakinya untuk sepatu. Jarinya untuk iklan obat kuat. Iklan
yang ada adegan me-ngaumnya itu loh. Tubuh wanita adalah obyek.
Pantas saja teman saya itu bersitegang ketika bicara konsep cantik. Ia
sangat tak setuju ketika penamaan cantik langsung disematkan berdasarkan ciri
diatas. Kesalahan parahnya, bagi saya pendapat itu adalah pendapat umum juga.
Baginya cantik itu subyektif. Ia tak obyektif. Ia tak bisa dikenai
langsung. Istilah itu tak bisa serta merta didasarkan pada kategori seperti
yang saya sebutkan tadi. Ia masuk wilayah privat. Relativitas yang berada di
relung masing-masing individu.
Itu kan kata media, Tamara cantik itu karena media yang bilang begitu.
Ada benarnya juga.
Soalnya, di beberapa daerah konsep cantik memang tak sama dengan yang
kita lihat di sinetron kita. Contohnya di Afrika sana. Wanita berkulit putih
tak serta merta cantik bagi suku disana. Bahkan mungkin bisa dikira mayat
hidup.
Suku di Asia tenggara, cantik itu kalau lehernya panjang. Lehernya panjang
karena dipasangi cincin leher. Semakin banyak cincin semakin panjang leher.
Maka para prianya menganggapnya cantik.
Di Papua Nugini, ada suku yang bilang cantik itu kalau tubuhnya di Tato
sebadan-badan. Termasuk di Indonesia, suku di Nias yang menerapkan pola ini.
Saya pun yakin di beberapa daerah kita di Indonesia, kalau bicara ciri
fisik cantik akan berbeda.
Tapi pada akhirnya media lah yang bikin penyeragaman konsep itu.
Akibatnya budaya semacam itu ditinggalkan. Dan orang pun berlomba-lomba membeli
shampo dan lotion merk tertentu.
Ingin cantik seperti Agnes Monica, belilah sabun ini. Ingin seperti Luna
Maya pakailah lotion ini. Ingin berkulit putih bersih gunakanlah pelembab yang
diiklankan oleh artis A.
Dan masyarakat kita seakan berlomba. Mengejar konsep cantik.
Mengeluarkan biaya bulanan untuk rutinitas cantik itu.
Pada akhirnya, pemilik modal akan meraup untung besar. Mereka tak
perduli apakah nanti shampo itu bikin kepala anda botak, atau muka anda
bertambah jerawatnya. Bagi mereka, duit yang utama.
Cantik kata media adalah semacam realitas baru yang coba disusupkan pada
pendengarnya. Ia konsesus bersama. Ia adalah pembangkitan makna.
Kita pun tak akan pernah tahu seperti apa cantik di tahun 3000 nanti.
Apakah model tubuh ramping kurang gizi itu masih bertahan. Atau bisa jadi kulit
hitam yang jadi primadona.
Atau bisa jadi Omas adalah konsep cantik di abad 30 nanti. Kita tak akan
pernah tahu. Pesan semacam, “Jangan menilai orang dari kulitnya” ada benarnya.
Atau seperti istilah umumnya, cantik itu ada pada diri manusia masing-masing.
Lebih adil pula kalo kita berfikir bahwa Perempuan sesungguhnya cantik.
Dan tak perlu pula kita memaksakan konsep itu ke semua orang. Sebab tak semua
orang bisa sepakat.
Media lah yang sepakat bicara soal cantik. Kita seyogyanya tak termakan
begitu saja.
Perempuan jadilah diri anda sendiri, biarkan lah orang lain yang menilai
secantik apakah anda!. Kita yang paling tahu sebenarnya kita. Tak ada alasan
untuk tidak bahagia. (aksansanjaya)
1 komentar untuk "Cantik kata Media"