Andai Pemimpin Bangka Petani?
Jika pemimpin Bangka Belitung dulunya seorang
petani, bisa jadi akan lain ceritanya kini. Pemimpin yang punya solusi selain
tambang untuk memakmurkan rakyatnya. Yang tak pernah secara emosional berhubungan
dengan timah.
Pemimpin
yang masa kecilnya, tiada jauh-jauh dengan berkebun. Bermain di sela padi darat
sambil mulot atau mentandi burung. Yang punya kenangan akan kulong dan sungai.
Atau tumbik, dimana ikan tanah sebesar lengan berlenggang bebas di air
jernihnya.
Pemimpin
yang bisa bersahabat dengan lingkungannya. yang melihat tanah dan pohon bukan
obyek, namun subyek. Pemberi kehidupan. Seperti laku suku Badui di Jawa sana.
Menghormati alam. Dan menggunakannya secara bijak.
Bangka
Belitung baru menjadi provinsi, sekitar
11 tahun lalu. Tapi saya merasa tiada jauh berbeda keadaannya ketika status
masih bagian dari Sumatera Selatan. Atau ketika ditarik masa lebih jauh, ketika
pertama Belanda menjajah pulau ini. Sama saja masih berkutat dengan timah,
timah dan timah.
Ketika
dahulu lepas dari Belanda, dan Bangka Tin Mining Bedrijft itu beralih menjadi UPTB, Bangka cuma
dapat Rumah sakit Timah, dan fasilitas mewah untuk kalangan tertentu. Sedang
royalty jauh di Palembang dan Jakarta sana.
Lepas
dari Sumsel, jadi provinsi, Timah masih menjadi milik mereka, saudagar, yang
kata Iwan Piliang, saudagar tak jelas asal bangsanya. Jenis saudagar ini tak
kenal arti wawasan nusantara dan cinta lingkungan. Bisa jadi mereka jenis
saudagar yang tinggal di langit saking tak jelasnya. Sama halnya dengan trilyunan
rupiah hasil timah yang raib tak berbekas di pulau ini.
Untuk
sekedar tidak lupa mengingat, ada juga persentase dari trilyunan rupiah itu
untuk masyarakat Bangka Belitung. Namun cuma remah-remahnya saja. Ibaratnya di
musim penghujan, anda cuma dapat rintiknya saja.
Pemimpin
kita berkilah bahwa membiarkan tambang rakyat adalah kebijakan yang bijaksana
dan arif. Bukankah kita telah memberi kehidupan yang layak bagi manusia-manusia
Melayu, China, Jawa dan lainnya yang berdiam di Pulau ini. Meningkatkan taraf
hidup mereka.
Lihatlah
toko emas, ramai pembeli. Motor dan mobil laris manis bak kacang goreng.
Leasing bak jamur di musim penghujan. Tak cuma kendaraan, alat berat harga
milyaran itu bahkan terbeli. Dan
wanita-wanita penghibur itu, sengaja didatangkan dari jauh. Kamp remang-remang
seperti gipsi, bernyanyi dan berpindah.
Pemimpin
yang kerap latah, dengan baligho besar dan seremoni pencitraan. Entah sadar
atau tidak, mereka seolah menipu diri sendiri. Memberi gula, namun racun di
kemudian hari. Berkacak pinggang dengan lesung seringai, senyum. Namun kata De
Massiv, cinta itu membunuh ku.
Kata
orang, atau pikir anda, kata-kata saya ini provokatif. Saya akui jelas
provokatif. Apalagi dekat-dekat dengan Pemilukada yang sebentar lagi ini. Entah
ini untuk posisi provinsi atau kabupaten/kota. Sama saja. Saya lebih suka
menyebutnya, tulisan ini sebagai penyadaran. Jika pun tidak bisa berarti
utopis.
Bahwa
sejauh ini, tak ada pemimpin kita yang sadar bahwa provinsi ini sedang going
down bukan going up. Kita selalu dan selalu beralih ke timah. Untuk bahan tambang
yang tak seberapa itu, tak bisa dibayangkan bagaimana jadinya untuk 10 atau 20
tahun kemudian. Saya bukan berbicara saat ini, namun untuk hari-hari ketika
cucu atau anak kita sedang gundah gulana, seolah sendiri di pulau terpencil.
Tiada hubungan. Tiada tetangga bisa diminta tolong.
Benarlah
bahwa ketika berurusan dengan uang, tak ada kata seperadek. Apalagi dengan
konsep uang cepat. Tiada bandang tak bisa diterjang.
AdamSmith, bisa jadi benar bahwa pasar bekerja di tangan –tangan misterious. Dan kita,
Bangka Belitung berada pada tangan-tangan misterius itu. Para saudagar-saudagar
itu. Yang datang dari negeri entah berantah. Menguras dan menguras. Bukan Cuma
saudagar, tapi mereka-mereka yang punya kuasa dan hukum.
Jadilah
mereka, kaum yang tak lebih 350 tahun lampau. Zaman ketika suku Han berjejer di
kerangkeng dengan rantai besi. Menggali timah.
Lucu
juga mendengar ada konsep ekonomi kerakyatan. Yang saya pikir tak lebih dari
konsep kelas pekerja, bahwa modal adalah punya masyarakat, di tangan buruh dan
petani. Yang pada dasarnya adalah, mendorong bidak namun menteri mencari
langkah mematikan.
Tak
usah bawa-bawa nama rakyat, kalau mindset masih berkisar fulus. Kalau sedekah
mesti diliput dan diapresiasi. Rakyat dijual, atas nama mereka, dapat untung
tiada terkira.
Pemimpin
kita juga, harusnya seorang nelayan. Masa kecilnya, akrab dengan laut. Dengan
ikan dan badai tengah malam. Dengan pantangan laut itu.
Bahwa
merusak karang, akan membuat hijarah ikan kecil dan plankton. Bahwa itu berarti
mereka harus lebih jauh mengayuh sampan. Atau itu berarti mematikan nafkah itu
sendiri.
Lalu
kemudian, akibat kebijakan tambang rakyat itu, datang kemudian pekerja-pekerja
dari tetangga. Pekerja lokal yang awalnya cinta lingkungan dan mau berkebun,
akhirnya ikut-ikutan. Nelayan yang awalnya setia pada laut, akhirnya menjarah laut
juga. Faktor ikut ikutan ini orang bilang multiplier efek.
Bagaimana tidak,
untuk dapat duit, panen lada perlu kurang lebih tiga setengah tahun. Bandingkan
dengan pelimbang, satu hari bisa dapat hasil sama tiga setengah tahun itu.
Saudagar
pun bergembira ria. Lah wong inilah kebijakan yang pro rakyat. Lihatlah mereka
bisa sekolah tinggi. Laptop bisa dibeli untuk anak-anak ku. Motor bisa dibawa
ke sekolah. Tak usah lagi dengan sepeda.
Begini
lah kalau, fulus pegang kendali. Saya pikir, tak cuma timah. Kalau bisa
masyarakatnya dijual saja perorang. Berikut pulau nya.
Tapi
saya ha’qul yakin, diantara mereka, diantara kita ini, ada calon pemimpin yang
tak goyah akan fulus. Yang punya niat tulus untuk membangun peradaban di Bangka
Belitung. Yang pemimpin tak bangga karna hanya menjaga warisan.
Yang
terakhir ini, ada pemimpin ini tak “melakukan apapun”, dia Cuma mewariskan,
menjaga saja kotanya. Hal yang wajar lalu, seperti museum, kota bersih dan
berkilau. Tak heran kalau langganan adipura. Seremoni yang kata orang Bangka,
ulok-ulok. Herannya bangga dengan itu.
Saya
pikir, pemimpin kita patut mencontoh orang tua dahulu di Kampung-kampung. Prinsip Kelekak itu perlu di tiru. Menaman
bukan bermaksud untuk diri sendiri, namun untuk orang lain. Generasi yang akan
datang. Kebijakan kita bukan untuk saat ini, namun demi masa depan. Untuk anak
cucu kita. Kalimat yang sering didengar, namun minim aplikasi. (aksansanjaya)
4 komentar untuk "Andai Pemimpin Bangka Petani?"
Posting anda ini dalem banget, tidak mengejutkan memang, karena ini juga terjadi di seluruh wilayah Indonesia kita ini. Cara anda menulis yang membuat posting ini terbaca 'bagus', hehe... salam